berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja!!!

DHIEBZONE

Televisi adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision; yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision). Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini mampu mengubah peradaban dunia. Di Indonesia ‘televisi’ secara tidak formal disebut dengan TV, tivi, teve atau tipi.
            Dalam penemuan televisi, terdapat banyak pihak, penemu maupun inovator yang terlibat, baik perorangan maupun badan usaha. Televisi adalah karya massal yang dikembangkan dari tahun ke tahun. Awal dari televisi tentu tidak bisa dipisahkan dari penemuan dasar, hukum gelombang elektromagnetik yang ditemukan oleh Joseph Henry dan Michael Faraday (1831) yang merupakan awal dari era komunikasi elektronik. Televisi sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dalam revolusi budaya pop.
            DI abad informasi, tidak ada yang lebih berpengaruh daripada televisi. Pengaruh televisi yang makin hegemonik telah menjadi bagian dari dinamika kehidupan. Tak heran jika banyak pihak yang mengatakan bahwa hidup tanpa televisi ibarat hidup tanpa makan.
            Sehari saja kita tidak nonton televisi, rasanya ada yang kurang. Wajar jika televisi dianggap sebagai ‘Tuhan’ di zaman modern ini. Alih-alih kecanduan berita yang berkualitas, kalau kecanduan berita tentang selebritas.
            Akhir-akhir ini masyarakat pecinta infotainmen dihebohkan dengan persoalan dalam kasus Luna Maya versus wartawan infotainmen. Kasus terbaru Luna Maya yang mengungkapkan kekesalannya kepada infotaiment di akun twitter miliknya dengan pernyataan yang cukup kasar telah membuat geger dunia hiburan, khususnya pihak pengusaha dan pekerja infotainment.
            Selama ini media telah memberikan ruang yang amat besar untuk berbagai peristiwa selebritas kita. Baik peristiwa yang benar-benar bermutu maupun peristiwa yang remeh temeh, seperti perayaan ulang tahun, sakit sariawan selebritas, sampai dengan koleksi sepatu sang idola.
            Saat ini kita telah dikepung tayangan televisi yang miskin manfaat. Tiap hari tidak bisa lepas dari suguhan beragam tayangan murahan dari semua stasiun televisi. Selain infotainment, marak juga sinetron yang tidak mendidik, acara reality show membahas cinta-cintaan.
            Itulah pertarungan budaya yang memaksa kita jadi korbannya. Kita menerima dan menyukai karena banyak tersedia. Bukan karena kita butuh. Tayangan televisi banyak yang kental dengan budaya populer.
            Kritikus Lorraine Gamman dan Margaret Marshment, keduanya penyunting buku The Female Gaze: Women as Viewers of Popular Culture (1998), bersepakat bahwa budaya populer adalah sebuah medan pergulatan ketika mengemukakan bahwa tidaklah cukup bagi kita untuk semata-mata menilai budaya populer sebagai alat kapitalisme dan patriarki yang menciptakan kesadaran palsu di kalangan banyak orang.
            Bagi mereka, budaya populer juga tempat dipertarungkannya makna dan digugatnya ideologi dominan. Budaya populer yang pada akhirnya disebut sebagi budaya komoditas itu diproduksi secara besar-besaran hanya didasarkan pada keuntungan ekonomi semata, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat. Pasalnya penilaian baik atau buruk bukan lagi didasarkan pada ajaran moral tetapi lebih pada kemampuan ekonomi untuk mendapatkan prestise.
            Maraknya infotainment yang kurang berbobot, reality show dan sinetron remaja dengan kehidupannya yang glamour telah memupus budaya tinggi yang ada di sekitar kita.
            Budaya tinggi diartikan sebagai salah satu aspek kebudayaan sebuah masyarakat yang keberadaannya berasal dari nilai-nilai mendasar yang dimiliki kebudayaan tersebut. Budaya tinggi merupakan pengejawantahan dari aspirasi, moral dasar, penghayatan masyarakat akan kehidupan dan cenderung memerlukan kemampuan khusus untuk menerapkannya. Budaya tinggi salah satunya adalah jenis kesenian tradisional yang ada di masyarakat.
            Saat ini kesenian tradisional makin banyak ditinggal masyarakat, misalnya tari tradisional, wayang, dan seni musik seperti gamelan. Hal itu ditandai dengan stagnasi dan sepinya pengunjung pameran seni tradisional.
            Seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman saat membuka Festival Nasional Kesenian Musik Tradisi Anak-anak 2009 di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis 2 Juli 2009 lalu.
            Hal senada juga berlaku bagi Mamanda, salah satu jenis seni tradisional etnis Banjar. Dulunya sangat dikenal dan digemari masyarakat Kalimantan Selatan. Seni panggung sejenis teater opera yang diiringi musik seperti biola dan gendang itu menampilkan kisah tentang raja-raja, biasanya dipentaskan pada acara hajatan atau pesta rakyat. Seni Mamanda mulai terpinggirkan oleh kesenian modern. Tak dapat dipungkiri hanya sedikit generasi muda yang tahu dan mengenal kesenian itu.
            Budaya tinggi yang tergeser oleh kemunculan teknologi yang berakibat pada instanisasi perilaku masyarakat, mendapatkan tandingannya berupa budaya populer.
            Mengapa budaya populer menjadi tandingan dari budaya tinggi? Bila budaya tinggi adalah sebuah bentuk dukungan terhadap kestabilan dan kemamapanan nilai-nilai dalam masyarakat, maka budaya populer pada awalnya bertindak sebagai counter culture yang melawan kemapanan, memberikan alternatif bagi masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa ‘maya’.
            Mereka dipertemukan ketika budaya populer tersebut berwujud. Masyarakat kita seakan telah terbius dengan tayangan yang lebih populer. Meniru apa pun yang dianggap modern dan peniruan tersebut diadopsi dari tayangan televisi yang sehari-hari mereka tonton.
            Fenomena tersebut secara jelas telah menggambarkan bagaimana budaya populer telah merasuk ke segala lini kehidupan. Penampilan dan gaya menjadi lebih penting dari pada moralitas, sehingga nilai-nilai tentang baik atau buruk telah lebur dan dijungkirbalikkan.    
            Budaya populer merupakan suatu pola tingkah laku yang disukai sebagian besar masyarakat. Tanda-tanda pesatnya pengaruh budaya populer itu dapat kita lihat pada masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif. Membeli barang bukan didasarkan pada fungsi guna dan kebutuhan tetapi lebih didasarkan pada imaej atau prestise.
            Sebagian kalangan memang menilai bahwa budaya populer itu membawa dampak positif yaitu sebagai bentuk kemajuan dari peradaban dan menciptakan dinamisasi terhadap mobilitas budaya, baik secara vertikal maupun horisontal. Tetapi tetap saja dampak yang dibawa atas budaya populer yang bersumber dari proses globalisasi dan kapitalisme itu merugikan banyak pihak. Antara lain eksistensi budaya daerah yang makin hilang karena dianggap ketinggalan zaman dan identitas diri yang makin terkikis karena adanya penentuan identitas dan standarisasi dari industri budaya sebagai pihak yang menciptakan budaya.
            Meskipun tayangan media massa itu beragam, namun pada dasarnya mengarahkan kepada perspektif yang cenderung kepada standar yang dimiliki oleh status quo itu sendiri.
            Hasilnya, media massa bukannya merefleksikan apa yang ada di masyarakat, tapi berubah menjadi mampu menentukan apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat. Lahirlah apa yang disebut budaya populer. Semoga budaya populer tidak menggerus budaya sejati bangsa kita.      
Sumber:
http://barabbas.blog.friendster.com/2009/09/televisi-mengubah-dunia
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/32885/budaya-populer-dalam-program-televisi

0 Comments:

Post a Comment