berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja!!!

DHIEBZONE

Tantangan Global Village

Kemajuan teknologi elektronik dan system media komunikasi telah membawa kita kepada sebuah tatanan peradaban baru dengan nama Global Village (desa sejagat). Batas jarak, ruang dan waktu tidak lagi menjadi kendala. Dunia seakan menjadi bola golf yang bisa digenggam dengan mudah oleh tangan kita. Hanya dengan memencet sebuah tombol dan memelototi layer televisi, misalnya, kita bisa mengetahui apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain, bahkan hal-hal yang sudah terjadi ratusan tahun silam pun bisa dengan mudah kita ketahui.Hal ini tentunya mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam kehidupan kita; baik itu pengaruh yang positif maupun negatif. Di satu sisi kita bisa semakin dimudahkan dalam menjalankan ragam aktifias kehidupan, mulai dari hal-hal sepele sampai hal-hal yang besar sekalipun, namun di sisi lain dampak negatifnya pun tak kalah besar, manusia juga semakin dimudahkan dalam menjalankan kejahatan dan hal-hal yang bertendensi maksiat.
            Kita ambil satu contoh yang paling mudah mungkin teknologi internet. Barang satu ini sudah bukan menjadi barang aneh lagi bagi kita. Di mana-mana kita bisa dengan mudah menemukannya. Tentu seperti kemunculan media teknologi lainnya, internet juga mempunyai dua dampak sekaligus seperti dua sisi mata uang logam. Dengan kehadiran internet kita semakin mudah mengerjakan tugas-tugas harian kita dengan mencari bahan-bahan di sana, kita juga bisa tetap berhubungan dengan temen-temen kita yang terpisah jarak ribuan kilometer dengan menggunakan media chating room misalnya, dan tentunya masih banyak lagi manfaat positif lainnya. Tapi di samping itu bahayanya pun tak kalah gencar mengintai kita, dengan mudah sesorang bisa menemukan gambar-gambar tanpa busana bertebaran di sana, belum lagi aktifitas perjudian yang juga semakin mudah dengan menggunakan jasa internet, atau ragam kemaksiatan lain yang semakin mudah dengan kehadiran barang ini.
            Namun yang lebih jauh dari itu, ada juga bahaya lain yang berdampak fatal dengan kemajuan teknologi informatika ini, khususnya terhadap nilai-nilai keislaman kita. Kemajuan teknologi dan informasi yang dikendalikan oleh Barat semakin memperbesar hegemoni mereka dalam segala aspek kehidupan negara-negara lain, khususnya ‘negara Islam’. Mulai dari hegemoni poltik, militer, kebudayaan, sampai pemikiran.
            Akibat (Impact) sistem peradaban global begitu kuat melilit lapisan negara manapun di dunia tak terkecuali negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, dari konteks ini dinamika agama, ideologi, budaya, ekonomi, dan politik terakumulasi dalam sebuah kondisi yang “blur” tanpa sekat kemudian lambat-laun mengikis secara tidak langsung relevansi bingkai batas–batas nasionalisme geografis berbagai negara.
            Kenyataan ini melahirkan perspektif pro maupun kontra sehingga tidak jarang menimbulkan respon untuk melawan arus dalam berbagai polanya. Akhirnya muncullah berbagai teori analisis untuk membedah apa yang menjadi persoalan mendasar dari fenomena globalisasi, inilah titik fokus kajian dan semestinya harus terus menerus digali dalam perspektif Islam.
            Berangkat dari hal itu, ada pokok acuan analisa yang bisa kita petakan berdasarkan tesis, antitesis, dan sintesis. Pertama, paradigma global yang berkarakter pada hegemoni ekonomi kapitalisme. Kedua, reaksi perlawanan dengan legitimasi simbol ideologi atau agama, akibat ketimpangan kapitalisme global yang berlaku tidak adil dan kemudian efeknya memicu akar kekerasan. Ketiga, teori alternatif ketika persoalannya tidak hanya berhenti pada sekadar acuan pro atau kontra terhadap sistem globalisasi yang telah membudaya. Sebelum menguraikan satu per satu dari pemetaan tersebut paling tidak bagaimana arti pengertian secara umum tentang globalisasi itu sendiri. Simpul utamanya bahwa, telah menjadi ciri khas babak baru peradaban ini ditandai dengan kemajuan signifikan dari teknologi informasi “cyberspace” sehingga terlipatnya jarak bentangan belahan bumi dalam kotak-kotak pengendali elektronik yang cukup mungil. Untuk memperjelas arti globalisasi mengutip definisi sebagai berikut:
            “Fakta seperti ini menciptakan kondisi yang tanpa batas menembus ke segala sudut, kadang menggerogoti identitas sosio-kultur dari sebuah segmen komunal ketika terjadinya komunikasi interkoneksi antar penduduk dunia yang kian intens, menerobos dinding pembatas lama seperti negara, politik, ideologi, agama, dan nasionalisme geografis, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa peradaban sekarang ini menjadi “kampung global” (global village) atau “Stadion global” (global stadium)”. (McLuhan)
            “Globalisasi merupakan konsekuensi alamiah akhir dari perkembangan sosial, yang walaupun dihubungkan dengan aspek-aspek ekonomi, politik, dan strategi, masih tetap merupakan suatu prosedur historis dan alamiah yang tak dapat dihindari. Globalisasi meliputi sebuah proses yang sangat panjang, membentang selama berabad-abad, meliputi dimensi-dimensi budaya, politik, sosial-komunikatif, dan ekonomi”.
(Ali. H. Al-Hakim)
            Problematika globalisasi tidak lepas dari kerangka stigma yang mengalami semacam krisis persepsi secara kolektif sehingga mengakibatkan ketimpangan pada
            orientasinya, dalam hal ini bisa dikatakan lingkaran globalisasi mengacu pada kapitalisme yang menitikberatkan pada kuantitas ekonomi. Eksploitasi kekuatan pemodal besar memandang negara-negara dunia ketiga khususnya negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam sebagai sapi perahan, di antaranya termasuk juga negeri kita.
            Contoh kasus yang bisa kita lihat yakni, pembangunan infrastruktur indusrti gas dan minyak bumi di negara-negara Timur Tengah dan kelompok dunia ketiga lainnya, faktanya didominasi oleh hegemoni kepentingan negara–negara pemodal besar (baca: Amerika dan Sekutunya), juga dengan sistematis dibarengi kekuatan intervensi sistem politik untuk mengendalikan. Tentunya arah globalisasi sekarang kenyataannya merupakan sebuah motif yang berkonotasi westernisasi dalam bentuknya yang makin canggih. Gerakan arus peradaban ini memang dibangun berdasarkan mindset sains modern, di mana filosofisnya menurut Husein Heriyanto dibingkai oleh skema paradigma Cartesian-Newtonian.
            Sifat dari kerangka filsafat ini ironisnya tidak mampu menjelaskan fenomena globalisasi karena proposisinya berupa analitis-reduksionis, mekanistik, atomistik, linier, dan cenderung memilah-milah secara parsial - sehingga menyebabkan ketimpangan pada cara memahami persoalan menyangkut makna kehidupan global itu sendiri secara komprehensif. Malah sebaliknya mengakibatkan kondisi krisis eksistensi berkepanjangan. Kenyataan ini kemudian terus-menerus bergulir dan dibarengi tercerabutnya akar kemanusiaan, di mana hegemoni dari himpitan globalisasi menjadi anti-Tuhan, anti-kemanusiaan secara otomatis melanggengkan antagonisme yang dipicu nuansa apatisme, fatalis, frustrasi dan anarkis sebagai bentuk-bentuk penyelesaian. Mungkin secara metafora bisa diasumsikan bahwa fenomena tersebut merupakan era “Jahiliah” baru di masa pasca modernis seperti sekarang, di mana masa Jahiliah dalam terminologi spiritualisme Islam secara luas diartikan ketika manusia menuhankan berhala ciptaannya sendiri dan terjerat dengannya secara totalitas.
            Paling tidak menurut sudut pandang Islam dalam permasalahan globalisasi tersebut tentunya bukan saja pada persoalan sekadar pro atau kontra, tetapi lebih menekankan pada sebuah sintesis dalam perombakan nilai–nilai yang terkandung pada globalisasi hegemonik. Walaupun memang kemungkinan ada hambatan terjadi seperti prediksi Samuel Huntington yang banyak diyakini berpendapat, Jika dikaitkan dengan sebuah politik identitas yang kemudian akan meledak pada titik simpul “benturan antar-peradaban”, analisis ini bisa dikatakan sebuah bentuk proposisi pesimistik. Sehubungan dengan teori ini berbeda dengan teori Muhammad Khatami mantan Presiden Republik Islam Iran, yang berpandangan lebih optimis dan mungkin lebih bisa dianggap sebagai solusi, beliau menyatakan bahwa perlunya membangun dialog antar–peradaban untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang melilit umat manusia dalam membingkai peradaban globalisasi yang lebih humanis.
            Berangkat dari gagasan cemerlang tersebut, paling tidak sebaiknya masyarakat muslim di belahan sudut dunia manapun untuk berperan proaktif ketika memetakan dan merespon berbagai masalah di era globalisasi seperti sekarang, dengan menggunakan pendekatan lebih humanis yang menekankan asas Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Dari uraian ini bisa disimpulkan bahwa Islam meyakini dua bentuk globalisasi, sebagaimana Nas berbicara bahwa globalisasi negatif yang berlangsung saat ini pada dasarnya adalah bagian dari prosesi perjalanan peradaban untuk sampai kepada bentuk-bentuk peradaban globalisasi Ilahiah yang akan diprakarsai oleh kehadiran kepemimpinan orang suci dan kemudian ‘Walayat’ ini diikuti kaum mukminin yang berpegang teguh pada nilai-nilai Tauhid Universal (baca: Tauhid Kemanusiaan). Akhirul kalam, inilah fenomena dan mungkin sekaligus merupakan pijakan awal untuk menuju tatanan Masyarakat Madani di Kampung Global.
           
Sumber:

0 Comments:

Post a Comment